Menu

Tuesday, September 29, 2015

Menganalisis Beberapa Temuan Di Sangiran



Sejarah Penemuan dan Pengakuan
Pada1936-1941 seorang ilmuan antropologi dari Jerman Gustav Heinrich Ralph von Koenigswal dmulai melakukan penelitan terhadap situs Sangiran tersebut.Setelah dilakukan penelitaian berikutnya, ditemukan 50 fosil lebih di antaranya Pithecanthropus erectus (Manusia Jawa), Meganthropus palaeo javanicus.Selain itu juga ditemukan fosil hewan seperti badak, tanduk kerbau, gading gajah, tanduk rusa dan lain-lain. Secara keseluruhan diperkirakan umur fosil yang ditemukan tersebut berusia 1 sampai 1,5 juta tahun dan diperkirakan juga umur fosil sudah terkubur sejak2 juta tah­un yang lalu. Dari 50 fosil yang ditemukan tersebut sudah mewakili 50% fosil  yang ada di dunia.

Sebelum kemunculan Koenigswald, pada awal 1930-an, masyarakat di sana hanya mengenal fosil-fosil yang banyak terdapat di lingkungan alam sekitar mereka sebagai balung buto alias tulang-tulang raksasa. Ilmuwan asal Jerman itu telah memberi pemahaman baru kepada masyarakat Sangiran terkait keberadaan fosil dan artefak purba.

Selain itu, pemahaman mereka terkait balung buto juga berkaitan dengan tradisi lisan mengenai perang besar yang pernah terjadi di kawasan perbukitan Sangiran, ribuan tahun silam.Dalam pertempuran itu banyak raksasa yang gugur dan terkubur di perbukitan Sangiran, sebagaimana “dibuktikan” lewat potongan-potongan tulang-belulang besar yang mereka namakan balung buto.Para tetua kampung yang berusia di atas 60 tahun masih ada yang mengenal mitos tentang asal usul balung buto tersebut. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang masih percaya akan kebenarannya.

Sebelum kedatangan Koenigswald, balung buto dianggap memiliki kekuatan magis. Selain berfungsi sebagai sarana penyembuhan berbagai penyakit, pelindung diri atau sebagai jimat, nilai magis balung buto juga dipercaya dapat membantu ibu-ibu yang susah melahirkan. Kerena itu, tidak heran bila pada kurun waktu sebelum 1930-an, balung butoyang banyak banyak bermunculan di berbagai tempat—di tepi sungai dan di lereng-lereng perbukitan—jarang diganggu oleh penduduk setempat.
Koenigswald mengubah pandangan itu.Luasnya cakupan wilayah sirus Sangiran, dengan kondisi alam yang tandus-gersang dan bebukit-bukit, memang tidak memungkinkan peneliti asing itu bekerja sendiri.Dalam upaya untuk mengumpulkan fosil, Koenigswald minta bantuan penduduk.
Sebagai imbalan atas keterlibatan penduduk, Koenigswald menerapkan sistem upah berupa uang kepada penduduk yang menemukannya.Besaran hadiah cukup beragam, bergantung pada jenis fosil dan kelangkaannya.Masyarakat pun mulai sadar, ternyata benda yang dulu mereka sebut balung buto memiliki nilai tukar yang cukup menjanjikan.

Setelah ituistilah balung buto perlahan lenyap digantikan fosil sebagai nama baru, pengertian dan nilainya pun berhasil diinternalisasikan oleh Koenigswald. Sejak itu pula, masyarakat Sangiran mengenal konsep pemaknaan baru terkait keberadaan fosil alias balung buto, yang semula dikaitkan dengan keyakinan sebagai mitos yang bernilai magis menjadi semacam komoditi baru yang hanya bernilai ekonomis.
Pada tahun 1977 situs Sangiran dideklarasikan oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan dan padatahun 1996 terdaftar dalam situs warisan dunia oleh UNESCO. 
Masih terletak di wiliyah Sangiran terdapat museum Sangiran, di museum tu terdapat koleksi13.086 koleksi fosil ma­nusia purba dan merupakan situsmanusia purba berdiri tegak yang terlengkap di Asia. Selain itu juga dapat ditemukan fosil hewan bertulang belakang, fosil binatang air, batuan, fosil tumbuhan laut serta alat-alat batu sekitar 2 juta tahun yang lalu hingga 200.000 tahun yang lalu, yaitu dari kala Pliosen akhir hingga akhir Pleistosen tengah.

A. Situs Sangiran
Sangiran adalah sebuah daerah pedalaman yang terletak di kaki Gunung Lawu, tepatnya sekitar 17 Km ke arah utara dari Kota Solo.Terletak di wilayah Kabupaten Sragen dan sebagian terletak di Kabupaten Karanganyar, Proponsi Jawa Tengah.Luas wilayahnya +56 Km2 yang mencakup tiga kecamatan di Kabupaten Sragen yaitu Kec. Kalijambe, Kec. Gemolong dan Kec.Plupuh serta Kec.Gondangrejo di Kabupaten Karanganyar.Secara astronomi terletak pada 7o 25' - 7o 30' LS dan pada 4o - 7o 05' BT (Moelyadi dan Widiasmoro, 1978).

Kawasan ini banyak sekali menyimpan misteri yang sangat menarik untuk diungkap.Hal ini dikarenakan pada situs tersebut banyak ditemukan sisa-sisa kehidupan masa lampau yang sangat menarik untuk dicermati dan dipelajari. Yang paling menakjubkan, kita bisa mendapatkan informasi lengkap dari sejarah kehidupan manusia purba baik itu mengenai habitat, pola kehidupannya, binatang-binatang yang hidup bersamanya dan proses terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak kurang dari 2 juta tahun yang lalu.

Berdasarkan penelitian, manusia purba jenis Homo erectus yang ditemukan di wilayah Sangiran sekitar lebih dari 100 individu yang mengalami masa evolusi tidak kurang dari 1 juta tahun. Jumlah ini mewakili 65% dari seluruh fosil manusia purba yang ditemukan di Indonesia dan merupakan 50% dari jumlah fosil sejenis yang ditemukan di dunia.  kandungan batu yang pernah digunakan manusia purba banyak pula ditemukan, sehingga kita bisa secara jelas mengetahui ataupun mengungkap kehidupan manusia purba beserta budaya yang berkembang saat itu.

Secara stratigrafis situs ini merupakan situs manusia purba terlengkap di Asia yang kehidupannya dapat dilihat secara berurutan tanpa terputus sejak 2 juta tahun yang lalu yaitu sejak kala Pleiosen Akhir hingga akhir Pleistosen Tengah.Terdapat 13.086 koleksi fosil manusia purba .Selain itu juga dapat ditemukan fosil hewan bertulang belakang, fosil binatang air, batuan, fosil tumbuhan laut serta alat-alat batu.
Keistimewaan Sangiran, berdasarkan penelitian para ahli Geologi dulu pada masa purba merupakan hamparan lautan. Akibat proses geologi dan akibat bencana alam letusan Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Gunung Merbabu, Sangiran menjadi Daratan. Hal tersebut dibuktikan dengan lapisan-lapisan tanah pembentuk wilayah Sangiran yang sangat berbeda dengan lapisan tanah di tempat lain. Tiap-tiap lapisan tanah tersebut ditemukan fosil-fosil menurut jenis dan jamannya.Misalnya, Fosil Binatang Laut banyak diketemukan di Lapisan tanah paling bawah, yang dulu merupakan lautan.

Pada awalnya penelitian Sangiran adalah sebuah kubah yang dinamakan Kubah Sangiran. Puncak kubah ini kemudian terbuka melalui proses erosi sehingga membentuk depresi. Pada depresi itulah dapat ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi tentang kehidupan di masa lampau. “Dome Sangiran” atau Kawasan Sangiran yang memiliki luas wilayah sepanjang bentangan dari utara –selatan sepanjang 9 km. Barat –Timur sepanjang 7 km. Masuk dalam empat kecamatan atau sekitar 59,3 Km2. Temuan Fosil di “Dome Sangiran” di kumpulkan dan disimpan di Museum Sangiran. Temuan Fosil di Sangiran untuk jenis Hominid Purba (diduga sebagai asal evolusi Manusia) ada 50 (Limapuluh) Jenis/Individu. Koleksi Musium Sangiran :
1.           Fosil manusia, antara lain Australopithecus africanus , Pithecanthropus mojokertensis (Pithecantropus robustus ), Meganthropus palaeojavanicus , Pithecanthropus erectus , Homo soloensis , Homo neanderthal Eropa, Homo neanderthal Asia, dan Homo sapiens .
2.           Fosil binatang bertulang belakang, antara lain Elephas namadicus (gajah), Stegodon trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinocerus sondaicus (badak), Bovidae (sapi, banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba).
3.           Fosil binatang air, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan kepiting, gigi ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Mollusca (kelas Pelecypoda dan Gastropoda ), Chelonia sp (kura-kura), dan foraminifera .
4.           Batu-batuan , antara lain Meteorit/Taktit, Kalesdon, Diatome, Agate, Ametis.
5.           Alat-alat batu, antara lain serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu dan kapak perimbas-peneta.

Banyak ahli Geologi, anthropologi dan arkeologi datang ke situs ini untuk melakukan riset dan belajar, diantaranya: Van Es (1939), Duyfyes (1936), Van Bemmelen (1937), Van Koeningswald (1938), Sartono (1960), Suradi (1962) dan Otto Sudarmaji (1976). Van Koeningswald menemukan paling tidak ada lima fosil manusia purba yang berbeda –beda jenisnya yang ditemukan di Sangiran. Tidak ada tempat lain di dunia ini yang kekayaan fosilnya menyamai apalagi melebihi Sangiran. Fosil-fosil yang ditemukan di Sangiran sangat beragam, ada fosil mahluk hidup dari daratan, maupun fosil mahluk hidup dari lautan.Dari hasil temuan ini, ada kemungkinan bahwa pulau Jawa terangkat dari dasar laut jutaan tahun yang lalu.

Pada tahun 1891, Eugene Dubois, ahli antropologi dari Perancis menemukan fosil Pithecanthropus Erectus, manusia purba tertua dari Jawa.Kemudian di tahun 1930 dan 1931, di desa Ngandong, Trinil-Mojokerto, ditemukan juga fosil-fosil manusia purba yang berasal dari jaman Pleistocene.Penemuan-penemuan ini mengungkap sejarah manusia yang hidup berabad-abad yang lalu.

Selain fosil manusia purba, dipamerkan juga berbagai fosil binatang purba, antara lain fosil gajah purba yang terdiri dari Elephas namadicus, Stegodon trigonocephalus, Mastodon sp, kerbau (Bubalus palaeokarabau), harimau (Felis palaeojavanica), babi (Sus sp), badak (Rhinocerus sondaicus), sapi atau bateng (Bovidae), rusa (Cervus sp), serta kuda nil (Hippopotamus sp). Ada juga fosil binatang-binatang air yang terdiri dari buaya (Crocodillus sp), ikan, kepiting, gigi ikan hiu, moluska (Pelecypoda dan Gastropoda ), serta kura-kura (Chelonia sp).

Fosil-fosil binatang purba
Untuk memberikan gambaran mengenai cara hidup manusia purba, museum ini menyediakan diorama yang menggambarkan patung manusia purba di tengah ekosistemnya. Kita dapat melihat raut wajah, bentuk tubuh, dan lingkungan rekaan tersebut untuk memperoleh pemahaman mengenai cara hidup mereka. Selain itu, dipajang pula berbagai peralatan dari batu, antara lain alat serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu dan kapak perimbas-penetak. Alat-alat dari jaman arkais tersebut digunakan oleh manusia purba untuk membunuh binatang, memotong daging atau tumbuh-tumbuhan, serta berfungsi juga sebagai senjata.Di museum ini, para pengunjung juga diperlihatkan beberapa jenis batuan yang terdiri dari batuan meteorit/taktit, kalesdon, diatome, agate, dan ametis.

Diorama yang menggambarkan kehidupan manusia purba
Di samping menimba pengetahuan melalui fosil dan benda-benda purbakala tersebut, wisatawan juga dapat memperdalam pengetahuan dengan menonton film tentang sejarah situs Sangiran dan gambaran visual di ruang audio visual. Film tersebut meggambarkan proses ekskavasi dan gambaran hidup manusia purba yang berjalan tegak dengan durasi selama 20 menit.

 Lapisan tanah sangiran  Formasi Kalibeng
Lapisan tanah terbawah dan memiliki umur paling tua, terbentuk pada kala Pliosen sekitar 2 juta tahun yang lalu.Mendominasi pusat kubah sangiran, formasi kalibeng dicirikan oleh endapan laut dan gamping.Pada lapisan ini tidak ditemukan fosil mamalia tetapi fosil moluska.

Formasi Pucangan
Formasi ini berada diatas lapisan atau formasi kalibeng. Formasi ini berupa lempung hitam dan mulai terbentuk sekitar 1,8 juta tahun yang lalu dari endapan lahar Gunung Merapi purba dan Gunung Lawu purba. Formasi Pucangan banyak mengandung fosil manusia purba dan hewan mamalia

Grenzbank
Terletak diatas formasi Pucangan.Lapisan ini terdiri atas konglomerat silikaan stadium lanjut, Lapisan ini dipakai sebagai tanda batas antara Formasi pucangan dan Formasi Kabuh. Lapisan ini terdiri dari elemen laut dan kerikil terbentuk akibat erosi pegunungan selatan dan Kendeng, Pada Grenzbank banyak ditemukan hewan mamalia, ditemukan pulafosil Homo Erectus.

Formasi Kabuh
Berupa endapan sedimen vulkanik berfasies fluviatil (pasir silang-siur).Endapan ini terjadi karena aktivitas Gunung Merapi dan Gunung Lawu purba yang terjadi pada kala plestosen tengah (500-600 ribu tahun yang lalu). Kaya akan temuan fosil manusia purba ditemukan pada formasi ini.

Formasi Notopura
Berada pada lapisan teratas di situs Sangiran.Terbentuk karena akibat dari aktivitas Gunung Berapi pada kala plestosen atas (250.000-70.000 tahun yang lalu).Lapisan ini ditandai oleh endapan lahar, breksi dan pasir juga banyak ditemukan alat serpih dan fosil kerbau dan kijang.

Secara umum situs sangiran saat ini merupakan daerah berlahan tandus, terlihat dari banyaknya tempat yang gundul tak berpohon.Hal ini disebabkan karena kurangnya akumulasi sisa-sia vegetasi yang mengalami humifikasi membentuk humus.Jenis tanaman yang ada di Situs Sangiran, antara lain lamtoro, angsana, akasia, johar, sengon mahoni. Terdapat sungai-sungai yang terus melakukan deformasi di situs sangiran antara lain adalah Kali Cemoro dan Kali Ngrejeng. Sungai ini memiliki peranan bagi masyarakat sekitar.Bukti-bukti kehidupan ditemukan di dalam endapan teras sungai purba.Di daerah tropis ini tidak banyak mengalami perubahan iklim dan memungkinkan manusia purba untuk hidup.

Pada tahun 1934, daerah Jawa dipakai sebagai ajang penelitian manusia purba dan alatnya.G.H.R Von Koenigswaldmelakukan penggalian pada sebuah bukit di sebelah timur laut sangiran, menemukan sebuah alat batu yang berupa serpih.Teknologi yang lebih baik menggambarkan perkembangan keterampilan yang dimiliki oleh manusia pendukungnya yang hidup di Sangiran.Alat-alat yang dihasilkan, setingkat lebih maju dibandingkan dengan alat-alat sejenis dari himpunan alat Pacitan.Alat Pacitan diperkirakan berasal dari kala plestosen tengah bagian akhir.Sedangkan alat-alat batu sangiran ditemukan di lapisan tanah kala plestosen atas pada formasi Notopuro.Alat-alat yang banyak ditemukan adalah serpih, dan bilah. Sebagian alat-alat serpih Sangiran berbentuk pendek, lebar dan tebal, dengan panjang antara 2-4 Cm. Teknologi yang umumnya digunakan pada alat batu Sangiran adalah teknik clacton, dengan ciri alat serpih tebal. Selain itu untuk mendapatkan bentuk-bentuk alat yang diinginkan lebih khusus, dilakukanlah penyerpihan kedua. Disamping alat serpih dan bilah yang kemungkinan digunakan sebagai alat pemotong dan penyerut kayu, ditemukan juga alat-alat yang terbuat dari batu lain, yaitu: bola batu, kapak batu, serut, beliung persegi, kapak perimbas, batu inti, dll. Bahan yang digunakan untuk untuk peralatan tersebut adalah kalsedon, tufa kersikan, kuarsa,dll. Alat-alat pada situs Sangiran merupakan hasil teknologi kala plestosen yang dicirikan dengan pola perburuan binatang dan pengumpulan makanan sebagai mata pencahariannya. Kemungkinan juga berdasarkan ukuran alat-alat Sangiranyang relatif kecil;, telah ada kecenderungan untuk memilih hewan buruan yang lebih kecil

Sosial ekonomi dan demografi penduduk yang bergerak pada sektor perdagangan pada kawasan obyek wisata museum Sangiran relatif merata.  92% sudah kawin, Sedangkan jenis kelamin di dominasi oleh penduduk perempuan 54,67%. Tingkat pendidikan terbesar adalah tamatan SLTA  34,67%. Jumlah anggota keluarga yang ikut membantu berjualan dengan proporsi terbesar 82,67% pada jumlah lebih kecil dari 3 orang. Jam kerja yang mendominasi lebih dari 45 jam per minggu dengan proporsi 85,33%. Modal usaha yang  terbesar adalah mereka yang menggunakan modal Rp. 750.000,- sampai Rp.1.000.000,- yaitu berkisar 70-67%. Pendapatan dengan proporsi terbanyak  48% dengan  tingkat pendapatan lebih besar Rp.1.000.000,-. Hubungan antara modal usaha dengan pendapatan penduduk diperoleh nilai r yaitu 0,765 dan signifikan pada tingkat signifikansi 1%. Karena nilai r yaitu 0,765 lebih besar 0,50 sehingga dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang kuat antara modal dengan pendapatan. Hubungan antara jam kerja dengan pendapatan penduduk diperoleh nilai r yaitu 0,307 dan signifikan pada tingkat signifikasi 1%. Karena nilai r yaitu 0,307 lebih kecil 0,50 sehingga dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara jam kerja dengan pendapatan. Hubungan antara jumlah keluarga yang ikut membantu berjualan dengan pendapatan penduduk diperoleh nilai r yang tidak signifikan pada tingkat signifikasi 1% atau tidak ada ada hubungan antara jumlah keluarga yang membantu dengan pendapatan yang diterima pedagang.Hubungan antara jumlah wisatawan yang belanja dengan pendapatan penduduk diperoleh nilai r sebesar 0,610 dan signifikan pada tingkat signifikasi 1%. Karena nilai r lebih besar 0,50 dan lebih kecildari 0,70 sehingga semakin besar jumlah wisatawan yang belanja maka semakin tinggi pula pendapatan yang diterima
B.   Gua – gua Pacitan
1.      Gua song terus
Terlatak di Punung, Pacitan, Jawa Timur. penggalian (ekskavasi) arkeologis secara sistematis sejak tahun 1994 sampai sekarang. Berbagai macam temuan yang dihasilkan sudah mencapai hitungan puluhan ribu sejak dalam penelitian dekade 5 tahun belakangan ini. Jejak-jejak tinggalan budaya berupa industri alat batu (litik), seperti: alat-alat masif dan serpih-bilah, alat-alat tulang, dan cangkang kerang (ada yang dipakai sebagai perhiasan: anting) serta berbagai macam temuan sisa fauna dan manusia yang terdapat di sini telah memberikan petunjuk dan mengisyaratkan adanya sebuah "Museum Hidup" gua hunian manusia masa lalu yang sarat akan tinggalan arkeologis.

Jejak budaya berupa alat-alat batu (litik) di Song Terus merupakan temuan yang paling melimpah disamping temuan sisa-sisa tulang hewan (fauna). Pada umumnya, alat-alat litik tersebut memperlihatkan dua perbedaan yang mencolok dipandang dari aspek geologis (stratigrafi), morfoteknologis, dan bahan baku (raw materials). Ciri-ciri temuan yang terdapat di lapisan bagian atas penggalian memperlihatkan corak budaya dari Mesolitik dengan industri alat serpih (dari bahan baku lebih segar) dan industri tulang, sedangkan di lapisan bagian bawah merupakan industri yang cenderung lebih masif (dengan ciri utama patinasi tebal dan teroksidasi) yang mencirikan budaya Palaeotilik. Dari hasil identifikasi (sementara) terhadap temuan industri litik di Song Terus, diketahui adanya beberapa tipe kategori kelompok alat, yaitu kelompok alat-alat masif yang bentuknya cenderung lebih besar daripada kelompok non-masif (serpih bilah). Jenis kelompok alat-alat masif tersebut antara lain: kapak penetak (chopping tools), kapak perimbas (choppers), batu pukul (hammers), dan serpih-serpih yang tergolong besar, sedangkan kelompok alat-alat non-masif diantaranya adalah serpih-serpih yang mempunyai ciri jejak-jejak pemakaian, antara lain: bilah (blades), serut samping (side scrapers), serut cekung (notched scrapers), serut ujung (end scrapers), lancipan (point), dan gurdi (borer).

Dalam kaitannya dengan eksploitasi sumber daya fauna di Song Terus, tampak jelas dengan dibuktikannya sejumlah temuan yang sangat melimpah dan padat pada setiap kotak penggalian.Sisa-sisa fauna tersebut berupa tulang-tulang yang masih utuh maupun fragmentaris, gigi-geligi, dan bagian tengkorak yang bercampur dengan peninggalan-peninggalan artefak dan ekofak lainnya.Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap temuan sisa-sisa fauna tersebut, diketahui terdapat empat kelas golongan "penghuni" vertebrata di Song Terus, yaitu jenis ikan (kelas Pisces), jenis fauna melata (kelas Reptilia), jenis unggas (kelas Aves), dan jenis hewan menyusui (kelas Mamalia).Di antaranya, yang sangat dominan adalah jenis monyet/ kera (Macaca sp), jenis kerbau, sapi, dan banteng (Bovidae) serta jenis kijang dan rusa (Cervidae).

Dari beberapa data yang diperoleh memperlihatkan beberapa pecahan tulang yang dimanfaatkan sebagai alat, terutama jenis tulang panjang dan tulang betis, serta tanduk dari hewan Macaca sp, Hovidae, dan Cervidae.Alat-alat tersebut pada umumnya berbentuk sudip (spatula) lancipan dan jarum.

Eksploitasi sumber daya fauna di Song Terus ternyata tidak hanya terbatas pada fauna darat (terutama dari filum Vertebrata) saja, tetapi juga dari biota marin (laut). Sampai sejauh ini, jenis temuan cangkang kerang di Song Terus merupakan temuan yang cukup banyak setelah industri litik dan sisa-sisa fauna.Dari identifikasi sisa cangkang kerang tersebut menunjukkan bahwa ini berasal dari filum Moluska, yang terdiri dari kelas Gostropoda, Pelecypoda, dan Chepolopoda.Pada umumnya, jenis cangkang kerang dari famili Veneridoe merupakan temuan yang paling dominan dan banyak dimanfaatkan sebagai alat dengan bentuk serut (scrapeks).Keberadaan sisa-sisa fauna di dalam konteks budaya dan hunian di Song Terus jelas memperlihatkan keterikatan yang erat dengan manusia penghuni gua.Fauna tersebut kemungkinan diperoleh dari daerah sekitar melalui perburuan dan pencarian di sungai, telaga atau di daerah pantai.

Dari hasil penelitian yang dilakukan selama ini, tinggalan sisa-sisa manusia yang diketemukan di Song Terus sangat terbatas sekali, dan secara kuantitas sangat sedikit jumlahnya dibandingkan dengan temuan lainnya.Pada umumnya, temuan tersebut berwujud fragmen (pecahan) tengkorak, tulang-tulang jari, dan gigi-gigi lepas yang tersebar tidak merata pada setiap kotak ekskavasi. Namun, apabila hal itu dikaitkan dengan beberapa temuan sisa-sisa manusia dan ciri-ciri temuan yang sama dari situs gua-gua hunian lainnya di Jawa Timur, sistem hunian dan tata cara penguburan di dalam gua/ ceruk memperlihatkan corak budaya yang berkembang pada masa Mesolitik, seperti halnya di Song Keplek, Gua Lawa (Sampung), dan Song Gentong (Tulungagung).

Dari hasil analisis beberapa sampel arang, tanah (sedimen), dan batuan di dalam konteks budaya di Song Terus, berhasil diketahui sejarah hunian yang cukup unik yang mencapai kurun waktu yang sangat panjang.Dari hasil penanggalan, diketahui bahwa situs ini minimal mempunyai dua ciri hunian yang berbeda ditinjau dari segi krono-budaya. Di bagian atas merupakan ciri budaya Mesolitik dengan materi utama industri litik dan tulang yang berlangsung antara 5.770 - 8.340 BP, sedangkan di bagian bawah merupakan industri yang cenderung lebih masif dan bercirikan budaya Palaeolitik yang berlangsung antara 56.000 - 160.000 BP. Penanggalan tersebut sangat menarik karena ternyata lapisan budaya yang berkembang jauh lebih awal itu berakar pada masa Plestosen. Hal ini membuktikan bahwa Song Terus merupakan situs hunian yang mempunyai "cultural sequence" yang panjang. Di bagian atas yang merupakan ciri lapisan Mesolitik mempunyai umur yang sama dengan situs Song Keplek, dan di bagian bawah yang bercirikan lapisan budaya Palaeolitik diperkirakan sudah ada dari kala Plestosen Atas.

2.      Gua Tabuhan
Goa Tabuhan adalah goa yang terletak di desa Wareng, Punung kabupaten sekitar 40 km dari kota Pacitan ke arah barat. Goa ini disebut Tabuhan karena dengan memukul lomesone stalactites resource yang menghasilkan music yang berirama gamelan (music kebudayaan Jawa). Goa tabuhan mempunyai varilored stalagmites ke atas mencapai setinggi 50 meter menuju liontin stalagtites dibentuk oleh menitis air dari atap. Goa Tabuhan juga dikenal sebagai Tapan Goa karena konon goa ini dulu digunakan untuk meditasi.Itu terbukti dengan adanya lokasi kecil dan hanya bisa ditempati oleh satu orang dalam Goa ini.

Lokasi Goa Tabuhan dari Goa Gong  hanya berselang 20 menit. Meskipun Goa Tabuhan dengan Goa Gong sama – sama disebut sebagai Goa, namun dari goa tersebut terdapat perbedaan. Kalau Goa Tabuhan memiliki mulut goa yang melebar dan sirkulasi yang lebih terbuka, gejala karst masih terlihat lebih natural di Goa ini.Tidak banyak cahaya sebagai penerang yang membantu pengelihatan saat berpijak di dataran goa yang basah ini, udara di dalamnya pun masih terasa lembab.Selain itu stalakmit dan stalaktit sesak menumpuk membuat para pengunjung menunduk setengah badan ketika berjalan didalam Goa tersebut. Jika kita menelusuri Goa hingga ke dalam akan terlihat bahwa Goa ini menjorok ke dalam dan berakhir pada lokasi kecil yang konon tempat meditasi.

Dengan adanya Gua Tabuhan ini perekonomian masyarakat dapat terbantu.Terbukti dengan adanya Gua Tabuhan sebagai situs manusia purba, masyarakat dapat melakukan kegiatan – kegiatan ekonomis baik disekitar Gua maupun di dalam Gua. Kegiatan ekenomis diluar Gua berupa perdagangan souvenir, sedangkan didalam Gua yaitu berupa kesenian Gamelan Jawa yang dilakukan dengan sebuah alat pemukul berbahan dasar kayu yang dipukul – pukulkan kearah dinding Gua dan menghasilkan bunyian apik dari Goa Tabuhan. Adapun penyewaan alat penerangan berupa senter di dalam gua yang berguna untuk penerangan para pengunjung di dalam Gua.Harga penyewaan berkisar Rp. 2000 saja.Untuk harga – harga souvenir yang dijual di area tersebut bisa dibilang relative murah jika kita pandai menawar.Souvenir yang dijual diantaranya manic –manik dari batu alam yang dibentuk menjadi gelang, kalung, bros dan sebagainya.

3.  Gua Song Gupuh
Lokasi administratif situs song gupuh terdapat di Dusun Pule , Desa Bama , Kecamatan  Punung, Kabupaten Pacitan, Propinsi jawa timur. Situs song gupuh merupakaan gua yang terletak di posisi 4 11’12’’ bujur timur dan 8 10’49’’ lintang selatan. Penelitihan awal pada situs song gupuh dilakukan oleh Pusat Penelitihan Arkeologi Nasional bekerja sama dengan Departement of Anthropology , Auckland University. Dalam penelitian tersebut menghasilkan pengertian bahwa situs song gupuh mengandung peninggalan budaya yang secara tekno - morfologis dapat dikategorikan sebagai salah satu unsur budaya neolitik. Hal itu terbukti dengan temuan berupa calon beliung (Plank), tatal-tatal batu (Chips), fragmen beliung, dan fragmen gerabah, yang berasosiasi dengan fragmen tulang binatang dan kulit kerang, yang diduga merupakan sisa-sisa makanan penghuni song gupuh pada zaan dulu.

Selain itu ada penelitian lain yang dilakukan oleh R.P. Soejono dan Gunadi Nitihaminoto dari Pusat Penelitihan Arkeologi Nasional bersama Harry Allen dari Departement Of Anthropology, Auckland University pada tahun 1995 dan 1997. Ekskavasi tahun 1995 di lakukan dengan system grid-spit (interval ke dalam 10 cm) dan di mulai dengan membuka satu kotak gali (SQ-II) yang berukuran 2x2 m hingga kedalaman 220cm (Gunadi Nh., 1995). Ekskavasi tahap ke-2 (1997) di lakukan dengan memperdalam kotak 50 - 1 dengan kedalaman 275 cm, dan membuka kotak gali (SQ - 2) dengan ukuran 2x1 m hingga kedalaman 85 cm. Dari kedua tahap tersebut, tiap-tiap kotak gali belum mencapai pada lapisan yang steril sehingga masih dimungkinkan adanya temuan baik artefak, maupun ekofak pada kedalaman selanjutnya.

Dari beberapa sisa - sisa aktivitas penghuni song gupuh (baik berupa artefak ataupun ekofak) dapat disimpulkan bahwa tatal batu (Chips) merupakan temuan yang paling dominan, tatal batu tersebut terbuat dari bahan batuan rijang (Chert), beberapa di antaranya masih terdapat kulit batu (Cortex) pada bagian dorsalnya (meskipun tidak seluruh permukaannya). Tatal-tatal batu ini pada umumnya masih terlihat segar (Fresh) dan berasosiasi dengan calon temuan beliung (Plank) sehingga diduga merupakan limbah (Waste) yang berupa serpihan - serpihan yang terlepas dari bahan baku ketika berlangsungnya pada pembuatan calon beliung. Tatal yang ditemukan berjumlah 5.102 buah, yang terbagi dalam 448 tatal dengan korteks yang terdiri dari 82 tatal kecil, 286 tatal sedang,dan 80 tatal besar. Dan 4.654 tatal tanpa korteks yang terdiri dari 2.721 tatal kecil, 1778 tatal sedang, dan 155 tatal besar.

 Penggolongan tatal tersebut berdasarkan pada eksistensi temuan tatal, yaitu tatal kecil (≤ 2cm), tatal sedang ( 2,1-4cm), dan tatal besar (≥ 4,1 cm). Artefak batu ini dikerjakan dengan cara pemangkasan, tiap-tiap tatal memiliki atribut teknologis yang hampir sama, seperti adanya dataran pukul (striking platform), bulbus (bulbs of percussion), alur serpih yang berombak (concentric ripples). Pemangkasan dalam hal ini dilakukan dengan cara tidak langsung, dan alat yang digunakan adalah alat bantu (fabricate)

C. Situs Ngrijangan
Lintasan di sekitar Desa Ngrijangan memberi informasi tentang sumber bahan baku artefak pada Zaman Neolotikum. Sumber itu berupa bukit yang disusun oleh batu gamping rijangan.Di sekitar bukit banyak dijumpai beliung dan mata panah, baik yang sudah jadi maupun setengah jadi. Artefak yang ditemukan pengunjung akan ditukar dengan piagam, dan benda tersebut akan dikembalikan ke tempat semula. Lintasan dapat diperpanjang hingga Telaga Ngrijangan, salah satu telaga yang berair sepanjang tahun di Pacitan Barat. Pengunjung taman geologi dapat melakukan diskusi berkaitan dengan sejarah terbentuknya telaga atau asal mula batu gamping rijangan yang singkapannya sangat langka

Fungsi produk dan fungsi situs bengkel beliung prasejarah berhubungan dengan perdagangan dan perbengkelan.Penelitian yang pernah dilakukan memperlihatkan fungsi produk situs bengkel beliung merupakan sarana perdagangan, dan fungsi situs bengkel sebagai tempat membuat beliung.Penelitian tersebut tidak memperhatikan hubungan produk dan kegiatan bengkel beliung dengan fasilitas sumber daya alam yang terdapat pada situs dan sekitarnya.

Penelitian ini bertujuan mengetahui fungsi produk dan fungsi situs yang berhubungan dengan sumber daya alam situs dan sekitarnya. Penelitian diharapkan memperlihatkan apakah produk bengkel beliung merupakan komoditas dagang atau sarana budi daya tanaman pads situs, apakah produk bengkel merupakan upaya pemukim menempatkan diri dan memanfaatkan sumber daya alam, dan bagaimana bentuk kegiatan pemukiman yang ditentukan daya dukung sumberdaya alam lingkungannya. 

Upaya untuk mengetahui fungsi produk dan fungsi situs memakai sampel non probabilitas.Data artefak dan lingkungan fisik memakai hasil survai dan penggalian di situs Ngrijangan, Kendeng Lembu, Ngrijang Sengon, Gunung Gamping. Data di (a) Ngrijang Sengon, Ngrijangan diharapkan mewakili bengkel beliung di sisi barat perbatasan Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat dan timur, (b) Gunung Gawping diharapkan mewakili bengkel beliung di Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian timur berbatasan dataran rendah Lumajang, Cc) Kendeng Lembu diharapkan mewakili bengkel beliung di Pegunungan Solo berbatasan Pegunungan Selatan Jawa Timur. Penelitian didukung percobaan, etnografi akik di Gendaran.
Fungsi bengkel memakai perbandingan ciri fisik produk dan kegiatan bengkel dengan sumber daya alam. Perbandingan kesamaan ciri fisik produk memakai rumus Steinhaus yang diuji beda rumus D/ma. Hasil uji memperlihatkan kedudukan tiap artefak seluruh situs dalam proses pembuatan beliung; sehingga menampakan fungsi situs sebagai penghasil atau pengguna produk bengkel. Hubungan fungsi situs penghasil atau pengguna produk dengan sumber daya alam memperlihatkan fungsi situs sebagai pemukiman dan atau perbengkelan.

Hasil penelitian memperlihatkan perbedaan kesimpulan dengan penelitian terdahulu. Penelitian ini memperlihatkan fungsi situs NgriJang Sengon, Ngrijangan, Gunung Gamping, Kendeng Lembu sebagai penghasil pra-beliung dan beliung yang tidak berlangsung setiap waktu bergantung persediaan air untuk menggosok batuan. Produk bengkel beliung tidak didagangkan di bengkel.Produk bengkel beliung dipakai budi daya tanaman selama memproduksi beliung; sehingga bentuk pemukiman pendukung kegiatan bengkel berhubungan dengan budi daya tanaman tebas bakar yang bervariasi sesuai daya dukung sumber alam di situs Ngrijangan, Ngrijang Sengon, Gunung Gamping dan Kendeng Lembu.


(Penulis : Riza ilhamsyah)


































Share This

Previous Post
Next Post
Virtual Machine

Written by

Related Posts

0 comments: