Sejarah Penemuan dan Pengakuan
Pada1936-1941 seorang ilmuan antropologi dari Jerman Gustav Heinrich Ralph von
Koenigswal dmulai melakukan penelitan terhadap situs Sangiran tersebut.Setelah
dilakukan penelitaian berikutnya, ditemukan 50 fosil lebih di antaranya Pithecanthropus
erectus (Manusia Jawa), Meganthropus palaeo javanicus.Selain
itu juga ditemukan fosil hewan seperti badak, tanduk kerbau, gading gajah,
tanduk rusa dan lain-lain. Secara keseluruhan diperkirakan umur fosil yang
ditemukan tersebut berusia 1 sampai 1,5 juta tahun dan diperkirakan juga umur
fosil sudah terkubur sejak2 juta tahun yang lalu. Dari 50 fosil yang ditemukan
tersebut sudah mewakili 50% fosil yang ada di dunia.
Sebelum
kemunculan Koenigswald, pada awal 1930-an, masyarakat di sana hanya mengenal
fosil-fosil yang banyak terdapat di lingkungan alam sekitar mereka sebagai balung
buto alias tulang-tulang raksasa. Ilmuwan asal Jerman itu telah memberi
pemahaman baru kepada masyarakat Sangiran terkait keberadaan fosil dan artefak
purba.
Selain
itu, pemahaman mereka terkait balung buto juga berkaitan dengan
tradisi lisan mengenai perang besar yang pernah terjadi di kawasan perbukitan
Sangiran, ribuan tahun silam.Dalam pertempuran itu banyak raksasa yang gugur
dan terkubur di perbukitan Sangiran, sebagaimana “dibuktikan” lewat potongan-potongan
tulang-belulang besar yang mereka namakan balung buto.Para tetua
kampung yang berusia di atas 60 tahun masih ada yang mengenal mitos tentang
asal usul balung buto tersebut. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang masih
percaya akan kebenarannya.
Sebelum
kedatangan Koenigswald, balung buto dianggap memiliki kekuatan magis.
Selain berfungsi sebagai sarana penyembuhan berbagai penyakit, pelindung diri
atau sebagai jimat, nilai magis balung buto juga dipercaya dapat
membantu ibu-ibu yang susah melahirkan. Kerena itu, tidak heran bila pada kurun
waktu sebelum 1930-an, balung butoyang banyak banyak bermunculan di
berbagai tempat—di tepi sungai dan di lereng-lereng perbukitan—jarang diganggu
oleh penduduk setempat.
Koenigswald
mengubah pandangan itu.Luasnya cakupan wilayah sirus Sangiran, dengan kondisi
alam yang tandus-gersang dan bebukit-bukit, memang tidak memungkinkan peneliti
asing itu bekerja sendiri.Dalam upaya untuk mengumpulkan fosil, Koenigswald
minta bantuan penduduk.
Sebagai
imbalan atas keterlibatan penduduk, Koenigswald menerapkan sistem upah berupa
uang kepada penduduk yang menemukannya.Besaran hadiah cukup beragam, bergantung
pada jenis fosil dan kelangkaannya.Masyarakat pun mulai sadar, ternyata benda
yang dulu mereka sebut balung buto memiliki nilai tukar yang cukup
menjanjikan.
Setelah
ituistilah balung buto perlahan lenyap digantikan fosil sebagai nama
baru, pengertian dan nilainya pun berhasil diinternalisasikan oleh Koenigswald.
Sejak itu pula, masyarakat Sangiran mengenal konsep pemaknaan baru terkait
keberadaan fosil alias balung buto, yang semula dikaitkan dengan
keyakinan sebagai mitos yang bernilai magis menjadi semacam komoditi baru yang
hanya bernilai ekonomis.
Pada
tahun 1977 situs Sangiran dideklarasikan oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan
dan padatahun 1996 terdaftar dalam situs warisan dunia oleh UNESCO.
Masih
terletak di wiliyah Sangiran terdapat museum Sangiran, di museum tu terdapat
koleksi13.086 koleksi fosil manusia purba dan merupakan situsmanusia purba
berdiri tegak yang terlengkap di Asia. Selain itu juga dapat ditemukan fosil
hewan bertulang belakang, fosil binatang air, batuan, fosil tumbuhan laut serta
alat-alat batu sekitar 2 juta tahun yang lalu hingga 200.000 tahun yang lalu,
yaitu dari kala Pliosen akhir hingga akhir Pleistosen tengah.
A. Situs Sangiran
Sangiran adalah sebuah daerah
pedalaman yang terletak di kaki Gunung Lawu, tepatnya sekitar 17 Km ke arah
utara dari Kota Solo.Terletak di wilayah Kabupaten Sragen dan sebagian terletak
di Kabupaten Karanganyar, Proponsi Jawa Tengah.Luas wilayahnya +56 Km2 yang
mencakup tiga kecamatan di Kabupaten Sragen yaitu Kec. Kalijambe, Kec. Gemolong
dan Kec.Plupuh serta Kec.Gondangrejo di Kabupaten Karanganyar.Secara astronomi
terletak pada 7o 25' - 7o 30' LS dan pada 4o - 7o 05' BT (Moelyadi dan
Widiasmoro, 1978).
Kawasan ini banyak sekali
menyimpan misteri yang sangat menarik untuk diungkap.Hal ini dikarenakan pada
situs tersebut banyak ditemukan sisa-sisa kehidupan masa lampau yang sangat
menarik untuk dicermati dan dipelajari. Yang paling menakjubkan, kita bisa
mendapatkan informasi lengkap dari sejarah kehidupan manusia purba baik itu
mengenai habitat, pola kehidupannya, binatang-binatang yang hidup bersamanya
dan proses terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak kurang dari 2 juta
tahun yang lalu.
Berdasarkan penelitian, manusia
purba jenis Homo erectus yang ditemukan di wilayah Sangiran sekitar lebih dari
100 individu yang mengalami masa evolusi tidak kurang dari 1 juta tahun. Jumlah
ini mewakili 65% dari seluruh fosil manusia purba yang ditemukan di Indonesia
dan merupakan 50% dari jumlah fosil sejenis yang ditemukan di dunia. kandungan batu yang pernah digunakan manusia
purba banyak pula ditemukan, sehingga kita bisa secara jelas mengetahui ataupun
mengungkap kehidupan manusia purba beserta budaya yang berkembang saat itu.
Secara stratigrafis situs ini
merupakan situs manusia purba terlengkap di Asia yang kehidupannya dapat
dilihat secara berurutan tanpa terputus sejak 2 juta tahun yang lalu yaitu
sejak kala Pleiosen Akhir hingga akhir Pleistosen Tengah.Terdapat 13.086
koleksi fosil manusia purba .Selain itu juga dapat ditemukan fosil hewan
bertulang belakang, fosil binatang air, batuan, fosil tumbuhan laut serta
alat-alat batu.
Keistimewaan Sangiran,
berdasarkan penelitian para ahli Geologi dulu pada masa purba merupakan
hamparan lautan. Akibat proses geologi dan akibat bencana alam letusan Gunung
Lawu, Gunung Merapi, dan Gunung Merbabu, Sangiran menjadi Daratan. Hal tersebut
dibuktikan dengan lapisan-lapisan tanah pembentuk wilayah Sangiran yang sangat
berbeda dengan lapisan tanah di tempat lain. Tiap-tiap lapisan tanah tersebut
ditemukan fosil-fosil menurut jenis dan jamannya.Misalnya, Fosil Binatang Laut
banyak diketemukan di Lapisan tanah paling bawah, yang dulu merupakan lautan.
Pada
awalnya penelitian Sangiran adalah sebuah kubah yang dinamakan Kubah Sangiran.
Puncak kubah ini kemudian terbuka melalui proses erosi sehingga membentuk
depresi. Pada depresi itulah dapat ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi
tentang kehidupan di masa lampau. “Dome Sangiran” atau Kawasan Sangiran yang
memiliki luas wilayah sepanjang bentangan dari utara –selatan sepanjang 9 km.
Barat –Timur sepanjang 7 km. Masuk dalam empat kecamatan atau sekitar 59,3 Km2.
Temuan Fosil di “Dome Sangiran” di kumpulkan dan disimpan di Museum Sangiran.
Temuan Fosil di Sangiran untuk jenis Hominid Purba (diduga sebagai asal evolusi
Manusia) ada 50 (Limapuluh) Jenis/Individu. Koleksi Musium Sangiran :
1.
Fosil
manusia, antara lain Australopithecus africanus , Pithecanthropus mojokertensis
(Pithecantropus robustus ), Meganthropus palaeojavanicus , Pithecanthropus
erectus , Homo soloensis , Homo neanderthal Eropa, Homo neanderthal Asia, dan
Homo sapiens .
2.
Fosil
binatang bertulang belakang, antara lain Elephas namadicus (gajah), Stegodon
trigonocephalus (gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau),
Felis palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinocerus sondaicus (badak),
Bovidae (sapi, banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba).
3.
Fosil
binatang air, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan kepiting, gigi ikan
hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Mollusca (kelas Pelecypoda dan Gastropoda ),
Chelonia sp (kura-kura), dan foraminifera .
4.
Batu-batuan
, antara lain Meteorit/Taktit, Kalesdon, Diatome, Agate, Ametis.
5.
Alat-alat
batu, antara lain serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu
dan kapak perimbas-peneta.
Banyak ahli Geologi, anthropologi
dan arkeologi datang ke situs ini untuk melakukan riset dan belajar,
diantaranya: Van Es (1939), Duyfyes (1936), Van Bemmelen (1937), Van
Koeningswald (1938), Sartono (1960), Suradi (1962) dan Otto Sudarmaji (1976).
Van Koeningswald menemukan paling tidak ada lima fosil manusia purba yang
berbeda –beda jenisnya yang ditemukan di Sangiran. Tidak ada tempat lain di
dunia ini yang kekayaan fosilnya menyamai apalagi melebihi Sangiran.
Fosil-fosil yang ditemukan di Sangiran sangat beragam, ada fosil mahluk hidup
dari daratan, maupun fosil mahluk hidup dari lautan.Dari hasil temuan ini, ada kemungkinan
bahwa pulau Jawa terangkat dari dasar laut jutaan tahun yang lalu.
Pada tahun 1891, Eugene Dubois,
ahli antropologi dari Perancis menemukan fosil Pithecanthropus Erectus, manusia
purba tertua dari Jawa.Kemudian di tahun 1930 dan 1931, di desa Ngandong,
Trinil-Mojokerto, ditemukan juga fosil-fosil manusia purba yang berasal dari
jaman Pleistocene.Penemuan-penemuan ini mengungkap sejarah manusia yang hidup
berabad-abad yang lalu.
Selain fosil manusia purba,
dipamerkan juga berbagai fosil binatang purba, antara lain fosil gajah purba
yang terdiri dari Elephas namadicus, Stegodon trigonocephalus, Mastodon sp,
kerbau (Bubalus palaeokarabau), harimau (Felis palaeojavanica), babi (Sus sp),
badak (Rhinocerus sondaicus), sapi atau bateng (Bovidae), rusa (Cervus sp),
serta kuda nil (Hippopotamus sp). Ada juga fosil binatang-binatang air yang
terdiri dari buaya (Crocodillus sp), ikan, kepiting, gigi ikan hiu, moluska
(Pelecypoda dan Gastropoda ), serta kura-kura (Chelonia sp).
Fosil-fosil
binatang purba
Untuk memberikan gambaran
mengenai cara hidup manusia purba, museum ini menyediakan diorama yang
menggambarkan patung manusia purba di tengah ekosistemnya. Kita dapat melihat
raut wajah, bentuk tubuh, dan lingkungan rekaan tersebut untuk memperoleh
pemahaman mengenai cara hidup mereka. Selain itu, dipajang pula berbagai
peralatan dari batu, antara lain alat serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak
persegi, bola batu dan kapak perimbas-penetak. Alat-alat dari jaman arkais
tersebut digunakan oleh manusia purba untuk membunuh binatang, memotong daging
atau tumbuh-tumbuhan, serta berfungsi juga sebagai senjata.Di museum ini, para
pengunjung juga diperlihatkan beberapa jenis batuan yang terdiri dari batuan
meteorit/taktit, kalesdon, diatome, agate, dan ametis.
Diorama yang
menggambarkan kehidupan manusia purba
Di samping menimba pengetahuan
melalui fosil dan benda-benda purbakala tersebut, wisatawan juga dapat
memperdalam pengetahuan dengan menonton film tentang sejarah situs Sangiran dan
gambaran visual di ruang audio visual. Film tersebut meggambarkan proses
ekskavasi dan gambaran hidup manusia purba yang berjalan tegak dengan durasi
selama 20 menit.
Lapisan tanah sangiran Formasi Kalibeng
Lapisan tanah terbawah dan
memiliki umur paling tua, terbentuk pada kala Pliosen sekitar 2 juta tahun yang
lalu.Mendominasi pusat kubah sangiran, formasi kalibeng dicirikan oleh endapan
laut dan gamping.Pada lapisan ini tidak ditemukan fosil mamalia tetapi fosil
moluska.
Formasi Pucangan
Formasi ini berada diatas lapisan
atau formasi kalibeng. Formasi ini berupa lempung hitam dan mulai terbentuk
sekitar 1,8 juta tahun yang lalu dari endapan lahar Gunung Merapi purba dan
Gunung Lawu purba. Formasi Pucangan banyak mengandung fosil manusia purba dan
hewan mamalia
Grenzbank
Terletak diatas formasi
Pucangan.Lapisan ini terdiri atas konglomerat silikaan stadium lanjut, Lapisan
ini dipakai sebagai tanda batas antara Formasi pucangan dan Formasi Kabuh.
Lapisan ini terdiri dari elemen laut dan kerikil terbentuk akibat erosi
pegunungan selatan dan Kendeng, Pada Grenzbank banyak ditemukan hewan mamalia,
ditemukan pulafosil Homo Erectus.
Formasi Kabuh
Berupa endapan sedimen vulkanik
berfasies fluviatil (pasir silang-siur).Endapan ini terjadi karena aktivitas
Gunung Merapi dan Gunung Lawu purba yang terjadi pada kala plestosen tengah
(500-600 ribu tahun yang lalu). Kaya akan temuan fosil manusia purba ditemukan
pada formasi ini.
Formasi Notopura
Berada pada lapisan teratas di
situs Sangiran.Terbentuk karena akibat dari aktivitas Gunung Berapi pada kala
plestosen atas (250.000-70.000 tahun yang lalu).Lapisan ini ditandai oleh
endapan lahar, breksi dan pasir juga banyak ditemukan alat serpih dan fosil
kerbau dan kijang.
Secara umum situs sangiran saat
ini merupakan daerah berlahan tandus, terlihat dari banyaknya tempat yang
gundul tak berpohon.Hal ini disebabkan karena kurangnya akumulasi sisa-sia
vegetasi yang mengalami humifikasi membentuk humus.Jenis tanaman yang ada di
Situs Sangiran, antara lain lamtoro, angsana, akasia, johar, sengon mahoni.
Terdapat sungai-sungai yang terus melakukan deformasi di situs sangiran antara
lain adalah Kali Cemoro dan Kali Ngrejeng. Sungai ini memiliki peranan bagi
masyarakat sekitar.Bukti-bukti kehidupan ditemukan di dalam endapan teras
sungai purba.Di daerah tropis ini tidak banyak mengalami perubahan iklim dan
memungkinkan manusia purba untuk hidup.
Pada tahun 1934, daerah Jawa
dipakai sebagai ajang penelitian manusia purba dan alatnya.G.H.R Von
Koenigswaldmelakukan penggalian pada sebuah bukit di sebelah timur laut
sangiran, menemukan sebuah alat batu yang berupa serpih.Teknologi yang lebih
baik menggambarkan perkembangan keterampilan yang dimiliki oleh manusia
pendukungnya yang hidup di Sangiran.Alat-alat yang dihasilkan, setingkat lebih
maju dibandingkan dengan alat-alat sejenis dari himpunan alat Pacitan.Alat
Pacitan diperkirakan berasal dari kala plestosen tengah bagian akhir.Sedangkan
alat-alat batu sangiran ditemukan di lapisan tanah kala plestosen atas pada
formasi Notopuro.Alat-alat yang banyak ditemukan adalah serpih, dan bilah.
Sebagian alat-alat serpih Sangiran berbentuk pendek, lebar dan tebal, dengan
panjang antara 2-4 Cm. Teknologi yang umumnya digunakan pada alat batu Sangiran
adalah teknik clacton, dengan ciri alat serpih tebal. Selain itu untuk
mendapatkan bentuk-bentuk alat yang diinginkan lebih khusus, dilakukanlah
penyerpihan kedua. Disamping alat serpih dan bilah yang kemungkinan digunakan
sebagai alat pemotong dan penyerut kayu, ditemukan juga alat-alat yang terbuat
dari batu lain, yaitu: bola batu, kapak batu, serut, beliung persegi, kapak
perimbas, batu inti, dll. Bahan yang digunakan untuk untuk peralatan tersebut
adalah kalsedon, tufa kersikan, kuarsa,dll. Alat-alat pada situs Sangiran
merupakan hasil teknologi kala plestosen yang dicirikan dengan pola perburuan
binatang dan pengumpulan makanan sebagai mata pencahariannya. Kemungkinan juga
berdasarkan ukuran alat-alat Sangiranyang relatif kecil;, telah ada
kecenderungan untuk memilih hewan buruan yang lebih kecil
Sosial ekonomi dan demografi
penduduk yang bergerak pada sektor perdagangan pada kawasan obyek wisata museum
Sangiran relatif merata. 92% sudah
kawin, Sedangkan jenis kelamin di dominasi oleh penduduk perempuan 54,67%.
Tingkat pendidikan terbesar adalah tamatan SLTA
34,67%. Jumlah anggota keluarga yang ikut membantu berjualan dengan
proporsi terbesar 82,67% pada jumlah lebih kecil dari 3 orang. Jam kerja yang
mendominasi lebih dari 45 jam per minggu dengan proporsi 85,33%. Modal usaha
yang terbesar adalah mereka yang
menggunakan modal Rp. 750.000,- sampai Rp.1.000.000,- yaitu berkisar 70-67%.
Pendapatan dengan proporsi terbanyak 48%
dengan tingkat pendapatan lebih besar
Rp.1.000.000,-. Hubungan antara modal usaha dengan pendapatan penduduk
diperoleh nilai r yaitu 0,765 dan signifikan pada tingkat signifikansi 1%.
Karena nilai r yaitu 0,765 lebih besar 0,50 sehingga dapat dikatakan bahwa ada
hubungan yang kuat antara modal dengan pendapatan. Hubungan antara jam kerja
dengan pendapatan penduduk diperoleh nilai r yaitu 0,307 dan signifikan pada
tingkat signifikasi 1%. Karena nilai r yaitu 0,307 lebih kecil 0,50 sehingga
dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang lemah antara jam kerja dengan
pendapatan. Hubungan antara jumlah keluarga yang ikut membantu berjualan dengan
pendapatan penduduk diperoleh nilai r yang tidak signifikan pada tingkat
signifikasi 1% atau tidak ada ada hubungan antara jumlah keluarga yang membantu
dengan pendapatan yang diterima pedagang.Hubungan antara jumlah wisatawan yang
belanja dengan pendapatan penduduk diperoleh nilai r sebesar 0,610 dan
signifikan pada tingkat signifikasi 1%. Karena nilai r lebih besar 0,50 dan
lebih kecildari 0,70 sehingga semakin besar jumlah wisatawan yang belanja maka
semakin tinggi pula pendapatan yang diterima
1. Gua song terus
Terlatak di Punung, Pacitan, Jawa
Timur. penggalian (ekskavasi) arkeologis secara sistematis sejak tahun 1994
sampai sekarang. Berbagai macam temuan yang dihasilkan sudah mencapai hitungan
puluhan ribu sejak dalam penelitian dekade 5 tahun belakangan ini. Jejak-jejak
tinggalan budaya berupa industri alat batu (litik), seperti: alat-alat masif
dan serpih-bilah, alat-alat tulang, dan cangkang kerang (ada yang dipakai
sebagai perhiasan: anting) serta berbagai macam temuan sisa fauna dan manusia
yang terdapat di sini telah memberikan petunjuk dan mengisyaratkan adanya
sebuah "Museum Hidup" gua hunian manusia masa lalu yang sarat akan
tinggalan arkeologis.
Jejak budaya berupa alat-alat
batu (litik) di Song Terus merupakan temuan yang paling melimpah disamping
temuan sisa-sisa tulang hewan (fauna). Pada umumnya, alat-alat litik tersebut
memperlihatkan dua perbedaan yang mencolok dipandang dari aspek geologis
(stratigrafi), morfoteknologis, dan bahan baku (raw materials). Ciri-ciri
temuan yang terdapat di lapisan bagian atas penggalian memperlihatkan corak
budaya dari Mesolitik dengan industri alat serpih (dari bahan baku lebih segar)
dan industri tulang, sedangkan di lapisan bagian bawah merupakan industri yang
cenderung lebih masif (dengan ciri utama patinasi tebal dan teroksidasi) yang
mencirikan budaya Palaeotilik. Dari hasil identifikasi (sementara) terhadap
temuan industri litik di Song Terus, diketahui adanya beberapa tipe kategori
kelompok alat, yaitu kelompok alat-alat masif yang bentuknya cenderung lebih
besar daripada kelompok non-masif (serpih bilah). Jenis kelompok alat-alat
masif tersebut antara lain: kapak penetak (chopping tools), kapak perimbas
(choppers), batu pukul (hammers), dan serpih-serpih yang tergolong besar,
sedangkan kelompok alat-alat non-masif diantaranya adalah serpih-serpih yang
mempunyai ciri jejak-jejak pemakaian, antara lain: bilah (blades), serut
samping (side scrapers), serut cekung (notched scrapers), serut ujung (end
scrapers), lancipan (point), dan gurdi (borer).
Dalam kaitannya dengan
eksploitasi sumber daya fauna di Song Terus, tampak jelas dengan dibuktikannya
sejumlah temuan yang sangat melimpah dan padat pada setiap kotak
penggalian.Sisa-sisa fauna tersebut berupa tulang-tulang yang masih utuh maupun
fragmentaris, gigi-geligi, dan bagian tengkorak yang bercampur dengan
peninggalan-peninggalan artefak dan ekofak lainnya.Dari hasil analisis yang
dilakukan terhadap temuan sisa-sisa fauna tersebut, diketahui terdapat empat
kelas golongan "penghuni" vertebrata di Song Terus, yaitu jenis ikan
(kelas Pisces), jenis fauna melata (kelas Reptilia), jenis unggas (kelas Aves),
dan jenis hewan menyusui (kelas Mamalia).Di antaranya, yang sangat dominan
adalah jenis monyet/ kera (Macaca sp), jenis kerbau, sapi, dan banteng
(Bovidae) serta jenis kijang dan rusa (Cervidae).
Dari beberapa data yang diperoleh
memperlihatkan beberapa pecahan tulang yang dimanfaatkan sebagai alat, terutama
jenis tulang panjang dan tulang betis, serta tanduk dari hewan Macaca sp,
Hovidae, dan Cervidae.Alat-alat tersebut pada umumnya berbentuk sudip (spatula)
lancipan dan jarum.
Eksploitasi sumber daya fauna di
Song Terus ternyata tidak hanya terbatas pada fauna darat (terutama dari filum
Vertebrata) saja, tetapi juga dari biota marin (laut). Sampai sejauh ini, jenis
temuan cangkang kerang di Song Terus merupakan temuan yang cukup banyak setelah
industri litik dan sisa-sisa fauna.Dari identifikasi sisa cangkang kerang
tersebut menunjukkan bahwa ini berasal dari filum Moluska, yang terdiri dari kelas
Gostropoda, Pelecypoda, dan Chepolopoda.Pada umumnya, jenis cangkang kerang
dari famili Veneridoe merupakan temuan yang paling dominan dan banyak
dimanfaatkan sebagai alat dengan bentuk serut (scrapeks).Keberadaan sisa-sisa
fauna di dalam konteks budaya dan hunian di Song Terus jelas memperlihatkan
keterikatan yang erat dengan manusia penghuni gua.Fauna tersebut kemungkinan
diperoleh dari daerah sekitar melalui perburuan dan pencarian di sungai, telaga
atau di daerah pantai.
Dari hasil penelitian yang dilakukan
selama ini, tinggalan sisa-sisa manusia yang diketemukan di Song Terus sangat
terbatas sekali, dan secara kuantitas sangat sedikit jumlahnya dibandingkan
dengan temuan lainnya.Pada umumnya, temuan tersebut berwujud fragmen (pecahan)
tengkorak, tulang-tulang jari, dan gigi-gigi lepas yang tersebar tidak merata
pada setiap kotak ekskavasi. Namun, apabila hal itu dikaitkan dengan beberapa
temuan sisa-sisa manusia dan ciri-ciri temuan yang sama dari situs gua-gua
hunian lainnya di Jawa Timur, sistem hunian dan tata cara penguburan di dalam
gua/ ceruk memperlihatkan corak budaya yang berkembang pada masa Mesolitik,
seperti halnya di Song Keplek, Gua Lawa (Sampung), dan Song Gentong
(Tulungagung).
Dari hasil analisis beberapa
sampel arang, tanah (sedimen), dan batuan di dalam konteks budaya di Song
Terus, berhasil diketahui sejarah hunian yang cukup unik yang mencapai kurun
waktu yang sangat panjang.Dari hasil penanggalan, diketahui bahwa situs ini
minimal mempunyai dua ciri hunian yang berbeda ditinjau dari segi krono-budaya.
Di bagian atas merupakan ciri budaya Mesolitik dengan materi utama industri
litik dan tulang yang berlangsung antara 5.770 - 8.340 BP, sedangkan di bagian
bawah merupakan industri yang cenderung lebih masif dan bercirikan budaya Palaeolitik
yang berlangsung antara 56.000 - 160.000 BP. Penanggalan tersebut sangat
menarik karena ternyata lapisan budaya yang berkembang jauh lebih awal itu
berakar pada masa Plestosen. Hal ini membuktikan bahwa Song Terus merupakan
situs hunian yang mempunyai "cultural sequence" yang panjang. Di
bagian atas yang merupakan ciri lapisan Mesolitik mempunyai umur yang sama
dengan situs Song Keplek, dan di bagian bawah yang bercirikan lapisan budaya
Palaeolitik diperkirakan sudah ada dari kala Plestosen Atas.
2. Gua Tabuhan
Goa Tabuhan adalah goa yang
terletak di desa Wareng, Punung kabupaten sekitar 40 km dari kota Pacitan ke
arah barat. Goa ini disebut Tabuhan karena dengan memukul lomesone stalactites
resource yang menghasilkan music yang berirama gamelan (music kebudayaan Jawa).
Goa tabuhan mempunyai varilored stalagmites ke atas mencapai setinggi 50 meter
menuju liontin stalagtites dibentuk oleh menitis air dari atap. Goa Tabuhan
juga dikenal sebagai Tapan Goa karena konon goa ini dulu digunakan untuk meditasi.Itu
terbukti dengan adanya lokasi kecil dan hanya bisa ditempati oleh satu orang
dalam Goa ini.
Lokasi Goa Tabuhan dari Goa
Gong hanya berselang 20 menit. Meskipun
Goa Tabuhan dengan Goa Gong sama – sama disebut sebagai Goa, namun dari goa
tersebut terdapat perbedaan. Kalau Goa Tabuhan memiliki mulut goa yang melebar
dan sirkulasi yang lebih terbuka, gejala karst masih terlihat lebih natural di
Goa ini.Tidak banyak cahaya sebagai penerang yang membantu pengelihatan saat
berpijak di dataran goa yang basah ini, udara di dalamnya pun masih terasa
lembab.Selain itu stalakmit dan stalaktit sesak menumpuk membuat para
pengunjung menunduk setengah badan ketika berjalan didalam Goa tersebut. Jika
kita menelusuri Goa hingga ke dalam akan terlihat bahwa Goa ini menjorok ke
dalam dan berakhir pada lokasi kecil yang konon tempat meditasi.
Dengan adanya Gua Tabuhan ini
perekonomian masyarakat dapat terbantu.Terbukti dengan adanya Gua Tabuhan
sebagai situs manusia purba, masyarakat dapat melakukan kegiatan – kegiatan
ekonomis baik disekitar Gua maupun di dalam Gua. Kegiatan ekenomis diluar Gua
berupa perdagangan souvenir, sedangkan didalam Gua yaitu berupa kesenian
Gamelan Jawa yang dilakukan dengan sebuah alat pemukul berbahan dasar kayu yang
dipukul – pukulkan kearah dinding Gua dan menghasilkan bunyian apik dari Goa
Tabuhan. Adapun penyewaan alat penerangan berupa senter di dalam gua yang
berguna untuk penerangan para pengunjung di dalam Gua.Harga penyewaan berkisar
Rp. 2000 saja.Untuk harga – harga souvenir yang dijual di area tersebut bisa
dibilang relative murah jika kita pandai menawar.Souvenir yang dijual
diantaranya manic –manik dari batu alam yang dibentuk menjadi gelang, kalung,
bros dan sebagainya.
3. Gua Song Gupuh
Lokasi administratif situs song
gupuh terdapat di Dusun Pule , Desa Bama , Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan, Propinsi jawa
timur. Situs song gupuh merupakaan gua yang terletak di posisi 4 11’12’’ bujur
timur dan 8 10’49’’ lintang selatan. Penelitihan awal pada situs song gupuh
dilakukan oleh Pusat Penelitihan Arkeologi Nasional bekerja sama dengan
Departement of Anthropology , Auckland University. Dalam penelitian tersebut
menghasilkan pengertian bahwa situs song gupuh mengandung peninggalan budaya yang
secara tekno - morfologis dapat dikategorikan sebagai salah satu unsur budaya
neolitik. Hal itu terbukti dengan temuan berupa calon beliung (Plank),
tatal-tatal batu (Chips), fragmen beliung, dan fragmen gerabah, yang
berasosiasi dengan fragmen tulang binatang dan kulit kerang, yang diduga
merupakan sisa-sisa makanan penghuni song gupuh pada zaan dulu.
Selain itu ada penelitian lain
yang dilakukan oleh R.P. Soejono dan Gunadi Nitihaminoto dari Pusat Penelitihan
Arkeologi Nasional bersama Harry Allen dari Departement Of Anthropology,
Auckland University pada tahun 1995 dan 1997. Ekskavasi tahun 1995 di lakukan
dengan system grid-spit (interval ke dalam 10 cm) dan di mulai dengan membuka
satu kotak gali (SQ-II) yang berukuran 2x2 m hingga kedalaman 220cm (Gunadi
Nh., 1995). Ekskavasi tahap ke-2 (1997) di lakukan dengan memperdalam kotak 50
- 1 dengan kedalaman 275 cm, dan membuka kotak gali (SQ - 2) dengan ukuran 2x1
m hingga kedalaman 85 cm. Dari kedua tahap tersebut, tiap-tiap kotak gali belum
mencapai pada lapisan yang steril sehingga masih dimungkinkan adanya temuan
baik artefak, maupun ekofak pada kedalaman selanjutnya.
Dari beberapa sisa - sisa
aktivitas penghuni song gupuh (baik berupa artefak ataupun ekofak) dapat
disimpulkan bahwa tatal batu (Chips) merupakan temuan yang paling dominan,
tatal batu tersebut terbuat dari bahan batuan rijang (Chert), beberapa di
antaranya masih terdapat kulit batu (Cortex) pada bagian dorsalnya (meskipun
tidak seluruh permukaannya). Tatal-tatal batu ini pada umumnya masih terlihat
segar (Fresh) dan berasosiasi dengan calon temuan beliung (Plank) sehingga
diduga merupakan limbah (Waste) yang berupa serpihan - serpihan yang terlepas
dari bahan baku ketika berlangsungnya pada pembuatan calon beliung. Tatal yang
ditemukan berjumlah 5.102 buah, yang terbagi dalam 448 tatal dengan korteks
yang terdiri dari 82 tatal kecil, 286 tatal sedang,dan 80 tatal besar. Dan
4.654 tatal tanpa korteks yang terdiri dari 2.721 tatal kecil, 1778 tatal
sedang, dan 155 tatal besar.
Penggolongan tatal tersebut berdasarkan pada
eksistensi temuan tatal, yaitu tatal kecil (≤ 2cm), tatal sedang ( 2,1-4cm),
dan tatal besar (≥ 4,1 cm). Artefak batu ini dikerjakan dengan cara
pemangkasan, tiap-tiap tatal memiliki atribut teknologis yang hampir sama,
seperti adanya dataran pukul (striking platform), bulbus (bulbs of percussion),
alur serpih yang berombak (concentric ripples). Pemangkasan dalam hal ini
dilakukan dengan cara tidak langsung, dan alat yang digunakan adalah alat bantu
(fabricate)
C. Situs Ngrijangan
Lintasan di sekitar Desa
Ngrijangan memberi informasi tentang sumber bahan baku artefak pada Zaman
Neolotikum. Sumber itu berupa bukit yang disusun oleh batu gamping rijangan.Di
sekitar bukit banyak dijumpai beliung dan mata panah, baik yang sudah jadi maupun
setengah jadi. Artefak yang ditemukan pengunjung akan ditukar dengan piagam,
dan benda tersebut akan dikembalikan ke tempat semula. Lintasan dapat
diperpanjang hingga Telaga Ngrijangan, salah satu telaga yang berair sepanjang
tahun di Pacitan Barat. Pengunjung taman geologi dapat melakukan diskusi
berkaitan dengan sejarah terbentuknya telaga atau asal mula batu gamping
rijangan yang singkapannya sangat langka
Fungsi produk dan fungsi situs
bengkel beliung prasejarah berhubungan dengan perdagangan dan
perbengkelan.Penelitian yang pernah dilakukan memperlihatkan fungsi produk
situs bengkel beliung merupakan sarana perdagangan, dan fungsi situs bengkel
sebagai tempat membuat beliung.Penelitian tersebut tidak memperhatikan hubungan
produk dan kegiatan bengkel beliung dengan fasilitas sumber daya alam yang
terdapat pada situs dan sekitarnya.
Penelitian ini bertujuan
mengetahui fungsi produk dan fungsi situs yang berhubungan dengan sumber daya
alam situs dan sekitarnya. Penelitian diharapkan memperlihatkan apakah produk
bengkel beliung merupakan komoditas dagang atau sarana budi daya tanaman pads
situs, apakah produk bengkel merupakan upaya pemukim menempatkan diri dan
memanfaatkan sumber daya alam, dan bagaimana bentuk kegiatan pemukiman yang
ditentukan daya dukung sumberdaya alam lingkungannya.
Upaya untuk mengetahui fungsi
produk dan fungsi situs memakai sampel non probabilitas.Data artefak dan
lingkungan fisik memakai hasil survai dan penggalian di situs Ngrijangan,
Kendeng Lembu, Ngrijang Sengon, Gunung Gamping. Data di (a) Ngrijang Sengon,
Ngrijangan diharapkan mewakili bengkel beliung di sisi barat perbatasan
Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat dan timur, (b) Gunung Gawping
diharapkan mewakili bengkel beliung di Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian
timur berbatasan dataran rendah Lumajang, Cc) Kendeng Lembu diharapkan mewakili
bengkel beliung di Pegunungan Solo berbatasan Pegunungan Selatan Jawa Timur.
Penelitian didukung percobaan, etnografi akik di Gendaran.
Fungsi bengkel memakai
perbandingan ciri fisik produk dan kegiatan bengkel dengan sumber daya alam.
Perbandingan kesamaan ciri fisik produk memakai rumus Steinhaus yang diuji beda
rumus D/ma. Hasil uji memperlihatkan kedudukan tiap artefak seluruh situs dalam
proses pembuatan beliung; sehingga menampakan fungsi situs sebagai penghasil
atau pengguna produk bengkel. Hubungan fungsi situs penghasil atau pengguna
produk dengan sumber daya alam memperlihatkan fungsi situs sebagai pemukiman
dan atau perbengkelan.
Hasil penelitian memperlihatkan
perbedaan kesimpulan dengan penelitian terdahulu. Penelitian ini memperlihatkan
fungsi situs NgriJang Sengon, Ngrijangan, Gunung Gamping, Kendeng Lembu sebagai
penghasil pra-beliung dan beliung yang tidak berlangsung setiap waktu
bergantung persediaan air untuk menggosok batuan. Produk bengkel beliung tidak
didagangkan di bengkel.Produk bengkel beliung dipakai budi daya tanaman selama
memproduksi beliung; sehingga bentuk pemukiman pendukung kegiatan bengkel
berhubungan dengan budi daya tanaman tebas bakar yang bervariasi sesuai daya
dukung sumber alam di situs Ngrijangan, Ngrijang Sengon, Gunung Gamping dan
Kendeng Lembu.
(Penulis : Riza ilhamsyah)
0 comments: